Tangan pria bertubuh tinggi besar itu meraih sebatang rokok,
menyalakannya pelan-pelan sambil bersandar pada kursi. Matanya
menerawang. Berpikir sejenak, ia kemudian berkata, "Setiap orang
menghargai cerita yang bagus, mereka tertarik dengan itu. Saya cuma
menyampaikan cerita itu dengan baik dan benar," kata Cak Lontong,
memberi rumus melawaknya kepada kami.
Kamis lalu, pria bernama asli Lies Hartono ini baru saja selesai menghadiri rapat dengan pihak Trans TV. Setelah beberapa jam menunggu, Heru Triyono dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo
akhirnya bisa menemui pelawak yang saat ini dinilai paling genius
sekaligus dibenci di televisi karena gaya beloon dan muka datarnya.
"Maaf, saya tadi rapat dulu. Ada program baru, Gado-Gado," kata pria yang memiliki tinggi badan 184 sentimeter ini di Coffee Bean gedung Trans TV, di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan.
Sebagai pelawak, Cak Lontong sedang naik daun. Wajahnya muncul di mana-mana: Sentilan Sentilun (Metro TV), Stand Up Comedy Show (Metro TV), Indonesia Lawak Klub (Trans 7), Sekolah Menjadi Komedian (Trans 7), dan Kopi Susu (JakTV). Tapi yang paling ditunggu adalah karakternya sebagai peneliti gadungan dalam acara Indonesia Lawak Klub (ILK), yang mengusung genre baru dalam pertunjukan lawak di Indonesia dengan kemasan talkshow sebagai parodi dari acara Indonesia Lawyers Club (ILC).
Kehadirannya, dengan hasil riset dan data yang ngawur,
benar-benar ditunggu pemirsa. Meski datanya kadang tidak berhubungan
dengan topik, penyampaian khas Cak Lontong, yang bertampang serius
dengan aura kewibawaannya, menjadikan apa saja yang dikatakannya lucu.
Contohnya seperti ini: "Dari hasil survei yang saya lakukan, 100 persen
masyarakat Indonesia itu menyukai musik dangdut," kata Cak Lontong.
Kemudian, Denny Chandra, sang host, bertanya kepadanya, "Kok bisa? Memangnya di mana Anda melakukan survei itu?”
"Di konser dangdut," kata Cak Lontong, dengan ekspresi muka yang datar.
Namun
Cak Lontong dulu tidak konyol seperti ini. Saat di bangku sekolah
dasar, ia malah anak pintar yang dapat peringkat satu terus. Beranjak
remaja, ia cenderung jadi pendiam, bahkan tidak suka berbicara dengan
orang banyak. "Namun bacaan saya majalah Intisari dan majalah Humor,"
ujar dia. Ia juga tidak pernah terlibat dalam pertunjukan komedi sama
sekali sampai berkuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
dan mendirikan grup lawak Ludruk Cap Toegoe.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 2 dinihari. Mata dia terlihat sayu saat itu. Namun ia
terus menyulut rokok tanpa henti. Isapannya begitu kuat, seolah ingin
menghabiskan satu batang dalam satu hisapan. Dalam sehari, Cak Lontong
bisa menghabiskan dua bungkus rokok. "Saya serius dengan profesi ini.
Saya ingin terus punya sesuatu yang mengibur orang, karena tawa itu
menyembuhkan semua luka," ujarnya.
Sumber : http://www.tempo.co/
Sumber : http://www.tempo.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar